Di daerah Kandangan Rembang, dulu ada seorang Kiai desa sederhana. Sudah tua tapi aktif sekali. Dimana saja ada peristiwa penting beliau selalu tampak. Misalnya di konferensi NU Wilayah, di muktamar NU. Padahal melihat penampilannya tidak meyakinkan. Sehingga terbetik kepercayaan bahwa Mbah Sungeb mempunyai aji-aji sampar angin.
Suatu ketika, Mbah Sungeb dan beberapa Kiai naik kendaraan umum pulang ke Rembang. Karena kendaraan mogok, mereka terpaksa berjalan kaki. Padahal Rembang masih jauh sekali.
Seorang Kiai ingat, bahwa Mbah Sungeb -konon- punya aji-aji sampar angin. Sambil sama-sama berjalan kaki, Kiai muda itu bertanya, “Kalau pergi ke Situbondo, Semarang, Yogya itu pakai aji-aji apa mbah kok bisa cepat sampai, bisa mendahului yang pakai sedan”. Beliau menjawab seperti sekenanya saja : “li ila”. (ayat li ila fi quraisyin…)
Mendengar itu Kiai lain berkomentar. “Itu tidak ada haditsnya. Yang ada itu Surat Fatihah. Fatihah itu bisa untuk keperluan apa saja. Misalnya kita ingin jalan cepat tanpa capek, baca saja Fatihah.
Kiai lain menengahi. “Begini saja, Mbah Sungeb ini sudah punya “li ila” supaya jalan cepat. Biarkan Mbah Sungeb pakai “li ila”. Sampeyan pakai Fatihah. Nanti saya ikut mana yang paling cepat”.
Baru saja mereka berdebat, tiba-tiba datang seorang anak muda dari belakang naik sepeda motor menegur Mbah Sungeb.
“Mau kemana, Mbah?
“Ke Rembang”
“Mari ikut saya”.
“Ke Rembang”
“Mari ikut saya”.
Mbah Sungeb pun lalu membonceng sepeda motor anak muda itu.
Dua Kiai yang lain tetap berjalan kaki. Sambil menahan lelah, Kiai muda tadi bilang kepada temannya, “Ternyata lebih mujarab “li ila”-nya Mbah Sungeb daripada punya sampeyan”.
0 komentar:
Posting Komentar